Translate

TAHAP PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


TAHAP PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Oleh : Muhammad Fadhli[1]

A.                Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969 Tentang Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis dalam bentuk dan nama tertentu serta menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tertentu (negara atau organisasi). Dalam hukum internasional, tahapan pembuatan hukum internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (Perjanjian) Internasional. Konvensi tersebut mengatur tahap-tahap pembuatan perjanjian baik bilateral (dua negara) mau pun multilateral (banyak negara). Tahap-tahapan tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Perundingan (negotiation);
  2. Penandatanganan (signature);
  3. Pengesahan (ratification).
Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melakukan tahap-tahap pembuatan perjanjian. Tahap-tahap tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu mulai dari perundingan antarnegara yang berkepentingan, penandatanganan MOU, agreement, atau pun treaty yang mengikat negara-negara yang membuat perjanjian, mensahkan perjanjian tersebut melalui ratifikasi yang melibatkan dewan perwakilan atau parlemen. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyebutkan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional, yaitu
1.      Perundingan (Negotiation)
Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan.
2.      Penandatanganan (Signature)
Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang menandatangani perjanjian.
3.      Pengesahan (Ratification)
Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

B.                 Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, praktiknya di Indonesia yakni sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni:
  1. Tahap Penjajakan
“Penjajakan : merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenal kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional”[2].
Menurut Malahayati[3]:
“Pada tahap ini para pihak yang ingin membuat perjanjian menjajaki kemungkinan-kemungkinan untuk dibuatnya perjanjian internasional. Penjajakan dapat dilakukan melalui inisiatif instansi atau lembaga pemerintahan (Negara) di Indonesia ataupun inisiatif dari calon mitra. Penjajakan bertujuan untuk bertukar pikiran tentang berbagai masalah yang akan di tuangkan dalam perjanjian dimaksud”.


  1. Tahap Perundingan
“Perundingan : merupakan tahap kedua untuk membahas substansi dan masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional”[4].
Tahap perundingan merupakan suatu upaya yang ditempuh oleh para pihak untuk mencapai kesepakatan atas materi yang masih belum dapat disetujui dalam tahap penjajakan. Tahap ini juga berfungsi sebagai wahana memperjelas pemahaman setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional.
“Setelah para pihak mendapatkan persetujuan untuk mengadakan perundingan, maka masing-masing pihak akan menunjuk organ-organ yang berwenang untuk menghadiri perundingan tersebut. Jika kepala negara yidak dapat menghadiri perundingan, maka akan diwakili oleh Menteri Luar Negeri, atau wakil diplomatiknya, dan apabila tidak maka akan ditunjuk wakil-wakil berkuasa penuh yang mendapat surat kuasa untuk mengadakan perundingan menandatangani atau menyetujui teks perjanjian dalam konteks tersebut (Pasal 7 ayat (1) dan (2) Konvensi Wina 1969). Pada tahap perundingan ini beberapa draft atau rancangan perjanjian ditawarkan dan dibahas, sehingga muncul usul, amandemen, pro maupun kontra”[5].

  1. Tahap Perumusan Naskah
“Perumusan naskah : merupakan tahap merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional”[6].
“Rumusan naskah adalah hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian internasional. Pada tahap ini diberikan tanda paraf terhadap materi yang telah disetujui, dan dihasilkan juga Agreed Minutes, atau Minutes of Meeting, atau Records of Discussion, atau Summary Records yang berisi hal-hal yang sudah disepakati, belum disepakati, serta agenda perundingan berikutnya. Apabila suatu perjanjian merupakan perjanjian bilateral dari dua negara yang mempunyai bahasa yang sama, hal ini tidak akan menimbulkan kesulitan. Masing-masing pihak pada perjanjian tersebut membuat naskah atas kertasnya sendiri  dengan mendahulukan nama negaranya setiap nama negara para pihak muncul. Begitu juga dengan letak tanda tangan, disebelah kiri ataupun dibagian atas secara berurutan. Sebuah naskah perjanjian juga biasanya terdiri dari unsur-unsur formil yaitu mukaddimah, batang tubuh, klausula penutup, dan annex”[7].

  1. Tahap Penerimaan
“Penerimaan : merupakan tahap menerima naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para pihak. Dalam perundingan bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut “Penerimaan” yang biasanya dilakukan dengan membubuhkan paraf pada naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/ approval) biasanya merupakan tindakan pengesahan suatu negara pihak atas perubahan perjanjian internasional”[8].

Penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) dalam suatu perjanjian bilateral ataupun multilateral dengan anggota yang masih terbatas, akan lebih mudah dilakukan dengan suara bulat Kesaksian naskah perjanjian (authentification of the text) adalah suatu perbuatan dalam proses pembuatan perjanjian yang mengakhiri secara pasti naskah yang telah dibuat. Bila suatu naskah sudah disahkan, maka ini tidak boleh diubah lagi. Menurut Pasal 10 Konvensi Wina, pengesahan naskah suatu perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam perjanjian naskah itu sendiri, atau sesuai dengan kesepakatan bersama para pihak. Dapat juga dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau paraf dibawah naskah perjanjian atau tanda tangan dalam suatu final act. Penerimaan naskah berbeda dengan persaksian naskah[9].

  1. Tahap Penandatanganan
“Penandatanganan : merupakan tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua pihak. Untuk perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan merupakan pengikatan diri sebagai Negara pihak. Keterikatan terhadap perjanjian internasional dapat dilakukan melalui pengesahan ratification/ accession/ acceptance/ approval”.



Namun penandatanganan tidak selalu berarti pemberlakuan perjanjian internasional. Pemberlakuan tergantung dari klausula pemberlakuan yang telah disepakati dalam perjanjian internasional. Akibat dari penandatanganan suatu perjanjian tergantung dari ada atau tidaknya persyaratan ratifikasi perjanjian tersebut. Apabila perjanjian harus diratifikasi, maka penandatangan hanya berarti utusan-utusan telah menyetujui teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan meneruskan kapan pemerintah yang berhak untuk menerimanya atau bahkan menolak perjanjian tersebut. Secara yuridis, apabila suatu negara yang telah menandatangani perjanjian tapi belum meratifikasinya, maka negara  tersebut belum merupakan peserta dalam perjanjian. Dalam hal ini negara tersebut berkewajiban untuk tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan objek dan tujuan perjanjian selama negara tersebut belum meratifikasinya (Pasal 18 Konvensi Wina 1969). Penandatanganan disini hanya dapat dilakukan oleh utusan-utusan yang memiliki surat kuasa penuh. Penandatanganan ini bukan berarti otenfikasi naskah, melainkan persetujuan negara untuk diikat secara hukum. Menurut Pasal 7 ayat (2) Konvensi Wina 1969, “hanya kepala negara, kepala pemerintah dan Menteri Luar Negeri yang dapat menandatangani tanpa memerlukan surat kuasa penuh, sedangkan perwakilan lain wajib memiliki surat kuasa penuh[10].

Tahapan pembuatan perjanjian internasional juga dapat dilihat dalam skema dibawah ini.
Skema  2.1
Tentang Pembuatan Perjanjian Internasional Menurut UU Nomor 24 Tahun 2000


Penjelasan Atas Skema Pembuatan Perjanjian Internasional
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
  1. Lembaga Negara, Lembaga Pemerintah, Kementerian/Non Kementerian (Pusat dan menjadi Lembaga Pemrakarsa dalam suatu pembuatan Perjanjian Internasional;
  2. Pasal 5 (1) UU Perjanjian Internasional menyatakan bahwa Lembaga Pemrakarsa diharuskan untuk melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri, yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional (Ditjen HPI) dan/atau unit Regional atau Multilateral di Kementerian Luar Negeri;
  3. Mekanisme konsultasi dan koordinasi tersebut dapat dilakukan melalui:
a.       Surat menyurat antara Lembaga Pemrakarsa, Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait lain; dan
b.      Rapat inter Kementerian (interkem) antara Lembaga Pemrakarsa, Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait lainnya.
  1. Surat menyurat dan rapat interkem antara Lembaga Pemrakarsa, Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait lainnya akan menghasilkan Draft dan/atau Counterdraft Perjanjian Internasional dan Pedoman Delegasi Republik Indonesia. Pedoman Delegasi Republik Indonesia dapat berupa hasil-hasil keputusan rapat interkem;
  2. Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah dan penerimaan/pemarafan. Semua tahap tersebut dilakukan dengan memperhatikan mekanisme konsultasi dan koordinasi (butir 3 a dan b). pada tahapan-tahapan ini pihak Indonesia dan pihak counterpart menyusun draft dan counterdraft Perjanjian Internasional;
  3. Hasil akhir dari penyusunan draft dan counterdraft ini adalah suatu Draft final Perjanjian Internasional yang, jika diperlukan, diparaf oleh para pihak sebelum ditanda tangani;
  4.  
a.       Seseorang yang mewakili Pemerintah Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional memerlukan Surat Kuasa (Full Powers) (Pasal 7 ayat 1);
Apabila didalam “Rules of Procedrure” dalam suatu perundingan Multilateral mensyaratkan adanya Surat Kepercayaan (Credentials) (Pasal 7 ayat 3) bagi delegasi yang menghindari perundingan tersebut, maka Kemernterian/Instansi Pemrakarsa/Delegasi Republik Indonesia mengajukan permintaan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menerbitkan Surat Kepercayaan dengan melampirkan nama, jabatan, Instansi dan kedudukan pejabat dalam susunan Delegasi Republik Indonesia tersebut dalam versi Bahasa Indonesia dan versi Bahasa Inggris. Hal ini mutlak diperlukan untuk menunjukkan bahwa pejabat tersebut merupakan wakil yang ditunjuk secara sah oleh Pemerintah Republik Indonesia;
b.      Penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berasa dalam ruang lingkup kewenagan suatu lembaga Negara atau lembaga pemerintah, baik Kementerian maupun Non-Kementerian dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa (Full Powers) (Pasal 7 ayat 5)
  1. Bila secara substansi (Draft final PI) telah disepakati kedua pihak dan procedural (Full Powers) dan penggunaan kertas perjanjian yang disarankan telah selesai, maka Perjanjian Internasional tersebut siap di tandatangani oleh kedua pihak;
  2.  
a.       Perjanjian Internasional dapat berlaku setelah penandatanganan, atau setelah pertukaran Nota Diplomatik atau cara-cara lain yang disepakati para pihak (Pasal 15 ayat 1);
b.      Pengesahan Perjanjian Internasional oleh pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh  Perjanjian Internasional tersebut (Pasal 9 ayat 1) dan dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden (Pasal 9 ayat 2);
Kelengkapan dokumen untuk Pengesahan Perjanjian Internasional (Pasal 12) adalah:
a.       Lembaga Pemrakarsa menyiapkan Salinan Naskah sebanyak 45 salinan,Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (hanya apabila Perjanjian Internasional tersebut tidak memiliki versi dalam Bahasa Idonesia), Rancangan UU atau Rancangan Perpres tentang pengesah dan Naskah Akademis (untuk Perjanjian Internasional yang diratifikasi oleh UU) atau Naskah Penjelasan (untuk PI yang diratifikasi oleh Perpres);
b.      Lembaga Pemarakarsa mengkoordinasikan pembahasan Rancangan UU/Perpres dengan instasi terkait;
c.       Pengajuan proses Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri Luar Negeri kepada Presiden;
  1.  
a.       Suatu Perjanjian Internasioanal harus disahkan degan UU bila (Pasal 11 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 jo. Pasal 10 UU Perjanjian Internasional); menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat, yang terkait beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukkan UU. Pengesahan Perjanjian Internasioanal dilakukan melalui UU apabila berkenaan dengan:
·         Politik, Hankam Negara;
·         Perubahan wilayah atau Penetapan Batas Wilayah;
·         Kedaulatan dan Hak berdaulat;
·         HAM dan Linkungan Hidup;
·         Pembentukkan kaidah hukum baru;
·         Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri;
Pemerintah dan DPR dapat membahas RUU pengesahan Perjanjian Internasioanal tersebut dengan melalui prolegnas maupun Non-Prolegnas (sesuai dengan pengaturan  pada UU Nomor 12 Tahun 2011
b.      Pengesahan Perjanjian Internasioanal yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional dilakukan dengan Perpres (Pasal 11 UU Perjanjian Internasional), antara lain: Perjanjian dibidang Iptek, Ekonomi, Teknik, Perdagangan, Kebudayaan, Pelayaran Niaga, Pengindaran Pajak Berganda, Perlindungan Penanaman Modal dan Perjanjian bersifat teknis (Penjelasan Pasal 11 ayat 1);
  1. Tindak lanjut Pengesahan dengan UU atau Perpres;
Setelah disahkan, Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat Perjanjian Eksosbud akan melakukan Notifikasi/pemberintahuan kepada pihak counterpart (untuk perjanjian bilateral) atau menyampaikan Instrument of Ratification/ Accession kepada lembaga deposit  (untuk Perjanjian Multilateral) yang menyatakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menyelesaikan prosedur bagi berlakunya Perjanjian Internasioanal tersebut;
  1. Sesuai Pasal 17 UU Perjanjian Internasional, naskah asli Perjanjian Internsional uang telah ditandatangani Pemerintah Republik Indonesia harus disimpan di Ruang Penyimpanan Perjanjian Internsional (TREATY ROOM) melalui Direktorat Perjanjian Ekososbud Kementerian Luar Negeri. Salinan Naskah Resmi perjanjian akan didaftarkan pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 102 Piagam PBB.
C.                 Perbedaan Antara Konvensi Wina 1969 dengan UU No. 24 Tahun 2000 Perjanjian Internasional
Antara Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai segi. Berikut adalah perbedaan-perbedaan antara kedua aturan hukum tersebut.
  1. Dari Segi Ketentuan Yang Tercakup di Dalamnya Secara Umum
Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi wina lebih mengacu pada ketentuan teknis tentang pelaksanaan perjanjian secara umum yang dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia. Ketentuan tersebut hanya mengatur secara umum tentang bagaimana melaksanakan suatu perjanjian internasional. Dalam konvensi wina tersebut, hanya ditentukan bagaimana suatu subjek hukum internasional melakukan perjanjian namun tidak dijelaskan secara lebih mendetail tentang bagaimana cara-cara pelaksanaannya. Karena cakupannya yang luas dan mengatur tentang perjanjian semua negara maka dalam Konvensi Wina tersebut kepada negara-negara yang akan meratifikasinya diberikan kebebasan untuk mengubah konvensi tersebut sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat negara tersebut selama pengubahan tersebut tidak bertentangan dengan maksud awal dari konvensi tersebut.
Dalam undang-Undang No. 24 Tahun 2000 ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalamnya lebih spesifik mengenai bagaimana cara-cara melaksanakan suatu perjanjian internasional. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 mengatur berbagai hal diantaranya :
  1. Pembuatan perjanjian internasional
  2. Pengesahan perjanjian internasional
  3. Pemberlakuan perjanjian internasional
  4. Penyimpanan perjanjian internasional
  5. Pengakhiran perjanjian internasional
  6. Serta ketentuan peralihan dan penutup
Semua isi dari ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam 22 Pasal yang kemudian disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid.

  1. Dari Segi Wakil Negara Yang Melakukan Pengesahan Perjanjian.
Sesuai dengan aturan yang terdapat dalam konvensi wina pasal 7, seseorang yang dianggap mewakili negara dalam suatu perjanjian memerlukan surat kuasa yang dikeluarkan oleh negara yang bersangkutan. Surat kuasa dan surat kepercayaan tersebut muncul dari praktek negara-negara untuk memberikan kuasa kepada seseorang sebagai wakil dari negara yang mengeluarkan surat kuasa tersebut. Surat kuasa (Full Powers) berdasarkan konvensi wina adalah “A document emanating from the competent authority of a State designating a person or persons to represent the State for negotiating, adopting or authenticating the text of a treaty, for expressing the consent of the State to be bound by a treaty, or for accomplishing any other act with respect to a treaty.” Dalam konvensi ini tidak dikenal adanya surat kepercayaan (Credentials) seperti yang terdapat dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000.
Sesuai dengan ketentuan pasal 7 Konvensi Wina 1969, terdapat beberapa orang yang dianggap sebagai wakil dari negara dan tidak memerlukan surat kuasa (Full Powers) untuk melakukan suatu perjanjian diantaranya adalah :
  1. Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the purpose of performing all acts relating to the conclusion of a treaty;
  2. Heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty between the accrediting State and the State to which they are accredited;
  3. Representatives accredited by States to an international conference or to an international organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that conference, organization or organ.  
Jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000  pasal 7 seseoarang yang mewakili pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional, memerlukan surat kuasa. Dalam Undang-Undang ini, dikenal adanya surat kepercayaan yang digunakan oleh satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu perjanjian internasional memerlukan surat kepercayaan. Surat kuasa (Full Powers) yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional.” Sedangkan surat kepercayaan (Credentials) adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 7 ayat (2) terdapat 2 pejabat negara yang tidak memerlukan surat kuasa (Full Powers) dalam melaksanakan suatu perjanjian diantaranya adalah :
  1. Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan.
  2. Menteri luar negeri.

  1. Penyimpanan Perjanjian Internasional
Dalam Konvensi wina 1969 tidak dijelaskan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan penyimpanan teks asli perjanjian, negara-negara yang melakukan perjanjian hanya diwajibkan untuk melakukan notifikasi dan meregistrasi salinan naskah resmi perjanjian internasional yang telah dibuat kepada sekretatiat organisasi internasional. Sedangkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, dijelaskan secara terinci bahwa Menteri bertanggung jawab secara penuh untuk menyimpan dan memelihara naskah asli perjanjian internasional yang telah dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia serta menyusun daftar resmi dan menerbitkannya dalam himpunan perjanjian internasional.
Diantara perbedaan tersebut terdapat beberapa kesamaan diantara keduanya. Hal itu disebabkan Konvensi Wina 1969 merupakan induk dari semua peraturan perjanjian internasional yang ada. Di antaranya adalah :
  1. Suatu negara dinyatakan telah melakukan pengesahan terhadap perjanjian internasional apabila telah melakukan Ratifikasi, Aksesi, Penerimaan, dan Penyetujuan sesuai dengan pasal 1 huruf b UU No. 24 Tahun 2000 yang berbunyi Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). dan pasal 2 huruf b Konvensi Wina 1969 yang berbunyi “ratification”, “acceptance”, “approval” and “accession” mean in each case the international act so named whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty.”
  2. Adanya suksesi terhadap suatu negara tidak mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian selama negara pengganti tetap menyetujui untuk meneruskan perjanjian tersebut. Ketentuan tentang hal tersebut terdapat pada pasal 73 Konvensi Wina 1969 yang berbunyi The provisions of the present Convention shall not prejudge any question that may arise in regard to a treaty from a succession of States or from the international responsibility of a State or from the outbreak of hostilities between States. dan pada pasal 20 UU No. 24 tahun 2000 yang berbunyi Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi tetap berlaku selama Negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.

D.                Daftar Pustaka

Malahayati, 2012, Pengantar Hukum Perjannjian Internasional, Biena Edukasi,     Lokseumawe.
Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasioanal.
http://www.kemenlu.go.id.
http://asdarkadir.blogspot.com/2012/01/perbedaan-antara-konvensi-wina-1969.html.



[1] Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, mengambil kekhususan Hukum Tata Negara, sekarang ini sedang melakukan penelitian skripsi tentang “ Tinjauan Hukum Internasional Tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tenaga Kerja Wanita Sektor Pekerja Rumah Tangga Indonesia di Malaysia (Studi  Sebelum dan Sesudah Berakhirnya Moratorium Pengiriman Tenaga Kerja Wanita Indonesia di Malayasia)”.
[2] Lihat Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Pasal 6 Ayat (1).
[3] Malahayati, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, Biena Edukasi, Lhokseumawe, 2012, hlm. 32.
[4] Penjelasan Pasal 6 ayat (1), Ibid.
[5] Malahayati, Ibid, hlm. 32-33.
[6] Penjelasan Pasal 6 ayat (1), Ibid.
[7] Malahayati, Ibid, hlm. 33-34.
[8] Penjelasan Pasal 6 ayat (1), Ibid.
[9] Malahayati Ibid, hlm. 34-35.
[10] Malahayati Ibid, hlm. 35-36.

3 komentar:

  1. thanks sangat membantu gw buat laporan tugas sekolah ya hehehe

    BalasHapus
  2. kenapa textnya gak warna gelap aja gan. biar lebih kelihatan :-)

    BalasHapus
  3. Kenapa tahapan dalam perjanjian harus dibuat seraca berturut? Mohon dijawab kak

    BalasHapus